Rabu, 09 November 2011

BACK TO BADUY ETAPE 4

BADUY, sebagian masyarakat Banten masih mempunyai kesan menyeramkan bila mendengar kata “BADUY”. Bahkan warga Rangkas sendiri yang berdekatan dengan wilayah Baduy masih menganggap bahwa di Baduy masih seram, angker dengan cerita mitos dan segala hal tetek bengek yang ada. Mereka hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut yang tidak valid. Salah satu contoh yang masih kental melekat di hati masyarakat luar bahwa di Baduy Dalam (Cibeo) hanya terdapat 40 rumah (40 kepala keluarga), bila lebih dari itu mereka harus keluar. KATANYA cerita seperti itu turun-temurun ditelan bulet-bulet sampai sekarang. Padahal rumah di kawasan Baduy Dalam (Cibeo) sudah mencapai 180 rumah dan lebih dari 200 kepala keluarga. Banyak hal yang dapat dijumpai dan diamati di kawasan Baduy Dalam mulai dari budaya, adat istiadat, kehidupan bermasyarakat, cara bercocok tanam dan berbagai macam keunikan-keunikan lainnya.

Berbekal rasa penasaran dan keingintahuan apa yang ada di kawasan Baduy Dalam membuat siswa-siswi SD PLTU SURALAYA WUKIRRETAWU, Kecamatan Pulomerak, Kota Cilegon, Provinsi Bantenmencoba melakukan kunjungan ke kawasan Baduy Dalam (Cibeo dan Cikertawarna). Mungkin dari sekian puluh bahkan mungkin sekian ratus SD yang ada di wilayah Banten, baru SD Wukirretawu yang sering datang berkunjung merambah pedalaman suku Baduy. Perjalanan pertama mulai dirintis pada bulan Mei 2005. Dari keberhasilan perjalanan tersebut hampir setiap tahun khususnya siswa-siswi kelas 6 melakukan kunjungan merambah pedalaman suku Baduy Dalam. Pada tanggal 22-24 Mei 2009, angkatan ke-4 kembali melakukan kunjungan yang terdiri dari 19 orang siswa-siswi (Athira, Gita, Dhea, Vany, Yola, Rilis, Nila, Regita, Ipah, Intan, Dena, Kirom, Fauzan, Agi, Vijay, Yudha, Andri, Bagas dan Ari) dan 1 orang alumni SDWR (Dora) yang sedang menyusun skripsi tentang kesehatan gigi orisinil penduduk pedalaman suku Baduy. Dora adalah mahasiswi dari jurusan Kedokteran Gigi Universitas Tri Sakti. Perjalanan ini juga didampingi oleh 5 orang guru SDWR ( Mr. Rahmat, Mr. Yoga, Mr. Arief, Ms. Tyas dan Ms. Fatma) serta 2 orang partisan dari pelatih Drum Band (Mr. Andi dan Mr. Opik).


Inilah cuplikan kisah perjalanan merambah pedalaman suku Baduy angkatan ke-4 pada tanggal 22 s/d 24 Mei 2009, selamat menyaksikan (eh, membaca...):

Jum'at siang sekira pukul 14:30 pada tanggal 22 Mei 2009 rombongan SDWR yang terdiri dari 19 orang siswa-siswi kelas 6 disertai 5 orang guru pendamping dan 2 orang partisan tampak duduk berbaris saling berhadapan di sebuah gerbong kereta api jurusan Merak-Jakarta. Kami duduk di gerbong belakang yang cukup 'mengesankan'. Tidak seperti biasanya anak-anak yang duduk manis di kursi empuk dalam mobil ber-AC, maka kami berada di kereta yang ramai dengan penumpang dengan aneka barang bawaan dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa orang membawa barang dagangan seperti daun pisang yang bertumpuk-tumpuk terikat, serta berkarung-karung kacang. Sesekali bolak-balik pedagang menawarkan dagangannya, seperti tahu, kacang, perhiasan, handuk, minuman, dll. Namun anak-anak nampaknya enjoy saja menikmati perjalanan ini, mereka sesekali bercanda ria . Kira-kira baru setengah perjalanan hujan turun cukup deras, sehingga mengakibatkan beberapa cipratan air masuk ke dalam gerbong melalui pintu yang terbuka. Beberapa orang berusaha menutup pintu gerbong tsb. Pak Rahmat Hidayat selaku pimpinan rombongan mengatakan bahwa ini semua dilakukan untuk mendidik anak-anak supaya kuat, tidak manja, dan dapat melihat realita kehidupan sebenarnya di masyarakat.



Kami tiba di Stasiun Rangkasbitung sekitar pukul 16:00 sore hari. Anak-anak dipersilahkan untuk buang air kecil sebelum melanjutkan perjalanan. Karena dari stasiun Rangkasbitung menuju Ciboleger membutuhkan waktu kira-kira 1,5 jam perjalanan menggunakan mobil angkutan umum yang telah dicharter sebelumnya. Medan yang dilalui menuju Ciboleger cukup berat juga. Banyak jalan yang berlubang, terkadang tanjakan dan turunan terjal yang berkelok-kelok. Beberapa anak tertidur di dalam mobil karena sudah diberi obat anti mual.

Tiba di Ciboleger kurang lebih pukul 18:00 Magrib, di sebuah lapangan yang cukup luas. Naik ke atas berupa tangga yang berundak-undak menuju sebuah warung makan kecil milik Bu Yati, namun memiliki ruangan yang cukup untuk menampung rombongan, kami menginap selama satu malam. Di tempat ini juga kami telah disambut oleh mang Aja (Ayah Kodo anak-anak memanggilnya). Mang Aja adalah warga Baduy Dalam (Cibeo) yang biasa menemani kami dalam perjalanan ke Cibeo. SD Wukirretawu memang sukup sering setahun sekali mengadakan perjalanan ini dan mengingap di rumah mang Aja di Cibeo. Beberapa orang Baduy Dalam lainnya juga menemani Mang Aja.

Di warung makan dan penginapan Ciboleger inilah anak-anak beristirahat, makan dan sholat. Masjid juga cukup dekat tempatnya. Esok pagi adalah perjalanan yang cukup panjang. Jarak dari Ciboleger ke Cibeo kira-kira 12 km. Perjalanan ini dapat ditempuh selama 4 jam bagi anak-anak, dan 2 jam bagi orang dewasa yang sudah terbiasa.



Ciboleger memang biasa menjadi tempat menginap bagi para perambah suku Baduy. Malam itu juga cukup ramai dengan siswa-siswi dari SMA 10 Bandung yang cukup banyak juga (sekitar 200-an). Mereka menginap tersebar di beberapa rumah di Desa Ciboleger ini. Para siswa/i ini baru saja selesai mengadakan perjalanan ke Baduy Dalam dan keesokan paginya mereka akan melanjutkan perjalanan wisata ke pantai Carita baru kemudian kembali ke Bandung. Di Ciboleger ini juga kami berjumpa dengan Dora (alumni SDWR angkatan 2000) yang sedang menyusun skripsi tentang kesehatan gigi orang-orang Baduy Dalam. Dora diantar oleh ayahnya dengan mengendarai mobil pribadi ke Ciboleger. Dora memang sudah merencanakan untuk ikut bersama rombongan SDWR dalam penelitiannya yang ke-2 di Cibeo. Selepas Isya, Pak Rahmat mengajak anak-anak berjalan-jalan di sekitar Desa Ciboleger. Di tempat ini juga banyak tersedia bermacam-macam souvenir seperti tas, kaos, kalung, gelang, cincin dengan ciri khas Baduy. Beberapa anak sibuk berbelanja. Di tempat menginap ini juga Pak Rahmat memberikan pengarahan kepada anak-anak tentang perjalanan besok. Beberapa pesannya diantaranya adalah bahwa mereka harus membawa tas masing-masing pulang dan pergi, tidak boleh dititipkan. Berkata terus terang jika dalam perjalanan ingin buang air kecil atau besar. Harus menghormati adat-istiadat orang-orang Baduy karena kita adalah pengunjung. Di tempat ini kami juga ngobrol-ngobrol dengan warga Baduy, Mang Aja sendiri sudah lumayan paham dengan Bahasa Indonesia.

Pagi hari Sabtu tanggal 23 Mei 2009, kami melakukan senam pemanasan di sekitar jalan di Ciboleger. Hal ini dilakukan untuk menyiapkan kondisi fisik selama perjalanan nanti. Di sekitar kami banyak siswa/i SMA 10 Bandung yang berfoto-foto, kemudian naik ke kendaraan untuk berangkat.



Singkat kata, setelah sarapan, kemudian menyiapkan perbekalan dan berpamitan. Dari tempat penginapan kami terus berjalan naik ke atas mengikuti tangga batu yang sudah ditata rapih menuju tempat Jaro Dainah (Kepala Desa Kanekes) untuk sowan. Setelah itu perjalananpun dimulai.

Iring-iringan merayap pelan di antara rumah-rumah penduduk Desa Kaduketuk (Baduy Luar). Seorang ibu-ibu dengan tekunnya sedang memintal benang menjadi kain menggunakan alat pintal khas. Perjalanan ini dimulai pukul 08:00 pagi. Pak Rahmat mengatakan bahwa berangkat di pagi hari agar fisik lebih siap karena telah beristirahat malamnya, dan udara juga masih cukup segar. Perjalanan penuh dengan tanjakan-tanjakan dan turunan yang cukup terjal. Tidak terasa kami sampai di sebuah danau (danau Dandang). Rombongan beristirahat sejenak dengan menanggalkan tas masing-masing dan minum. Kemudian kami berfoto-foto sejenak di tepi danau. Alam Baduy memang benar-benar mempesona. Hutan terbentang luas di area yang berbukit-bukit tinggi. Menurut Pak Rahmat perjalanan angkatan ke-4 ini cukup cepat juga, sehingga beberapa kali kita berhenti sejenak agar tidak terlalu cepat sampai di Desa Cibeo. Sedangkan Ayah Kodo bersama Dora dan 2 orang Baduy Dalam lainnya sudah berjalan terlebih dahulu di depan jauh meninggalkan anak-anak.

Hari semakin siang semakin panas, ditambah lagi kami harus melewati sebuah tanjakan yang paling tinggi dengan nafas terngos-ngos. Setelah melewati tanjakan yang cukup tinggi, jalan akhirnya mendatar dan kami tiba di sebuah saung milik warga Baduy untuk beristirahat. Di tempat ini akhirnya muncul juga beberapa sinyal operator seluler untuk berkomunikasi. Kami istirahat cukup lama di saung ini, beberapa anak merebahkan dirinya di tanah dan di bawah pohon besar dekat saung, tidak peduli lagi kotor atau tidak. Mr. Arif duduk di serambi saung dan di sana nampak seorang ibu-ibu bersama 3 orang anaknya. Di tempat ini juga disediakan air minum bagi yang lewat. Puas-puasin deh istirahatnya... Setelah agak lama beristirahat, menghabiskan snack dan minum, kami berdiri dan kembali melakukan senam peregangan untuk melemaskan kembali otot-otot yang kaku (senam lagi oy...). Di depan masih ada tanjakan yang cukup tinggi, dan setelah itu akan menemui lebih banyak turunan dan turunan hingga ke Desa Cibeo.

Siang hari sekitar pukul 11:30 kami mulai mendengar suara gemericik air menandakan keberadaan sungai yang berarti Desa Cibeo juga sudah dekat. Ternyata turunan yang panjang ini juga membuat dengkul lumayan gemetar menahan berat badan hingga akhirnya kami bertemu sebuah jembatan bambu yang melintasi sungai. Di seberang jembatan sudah terlihat rumah-rumah warga Cibeo.

Cibeo adalah sebuah Desa di Baduy Dalam yang cukup bersih dan tertata rapih. Mereka masih kental dalam memegang adat-istiadat. Misalkan, tidak boleh berkendaraan dan memakai alas kaki kemanapun pergi, tidak menggunakan detergent, sabun dan pasta gigi. Struktur rumah mereka juga tidak boleh menggunakan unsur besi seperti paku. Mereka tidak memelihara hewan berkaki empat seperti sapi dan kerbau. Warga Cibeo wajib bertani dan berladang, mereka menyimpan padi di dalam tempat yang disebut Leuit. Kehidupan begitu sederhana, rukun dan damai. Begitu jauh dari hingar-bingar, ambisi dan pertarungan hidup seperti di kota besar. Di rumah Mang Aja inilah anak laki-laki tidur di malam hari, sedangkan anak perempuan di rumah tetangga Mang Aja. Selain kami beberapa pengunjung lainnya juga menginap di Cibeo ini. Tidur di rumah mang Aja cukup sejuk dan nyaman, bahkan bebas nyamuk. Mungkin karena keseimbangan alam yang benar-benar dijaga.



Di Baduy Dalam, selain jembatan bambu juga terdapat jembatan akar. Akar pohon yang masih lunak dililit-lilitkan menyebrang sebuah sungai. Sehingga ketika akar tersebut tumbuh besar nanti akan menjadi jembatan yang cukup kuat dan unik untuk menyeberangi sungai. Kami menginap satu malam di Cibeo, dan keesokan paginya (Minggu tgl 24 Mei) harus siap kembali berjalan pulang ke Ciboleger dan harus mengejar kereta Banten Express yang berangkat pukul 15:30 dari stasiun Rangkas menuju ke Merak.

Tulisan ini mungkin terlalu singkat untuk menggambarkan secara utuh mengenai detail perjalanan kami. Dikarenakan keterbatasan waktu… Tetapi mudah-mudahan dapat memberikan sumbangsih dan manfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar